Sabtu, 29 Januari 2011


Radikalisme dalam beragama, atau “at-tatharruf ad-diiniy” didefinisikan oleh beliau sebagai suatu tindakan yang ‘berada di ujung’ atau ‘jauh dari pertengahan’. Sikap ini berlawanan sekali dengan sikap moderat atau “wasathiyah” yang diajarkan di dalam Islam. Ada pula istilah-istilah lain yang memiliki makna yang mirip dengan radikalisme ini, antara lain “ghuluw” (berlebihan), “tanaththu’” (melampaui batas), dan “tasydiid” (kerasa atau mempersulit). Semua makna ini menunjukkan bahwa sikap radikalisme adalah suatu sikap yang tidak diinginkan dalam Islam.

Akan tetapi, seperti yang sudah saya peringatkan sebelumnya, jangan dulu berpikir bahwa radikalisme yang dibicarakan oleh Yusuf al-Qaradhawi di sini menyentuh urusan yang ‘berdarah-darah’. Standar yang digunakan di dalam Islam sangat halus, karena Islam memang agama yang sangat mengutamakan kelembutan.

Radikalisme dalam beragama harus dicegah sejak awal. Dalam urusan melempar jumrah, misalnya, Rasulullah saw. pernah memperingatkan kita agar tidak berlebihan. Cukuplah dengan kerikil kecil saja. Melempar jumrah dengan batu sebesar kepalan tangan, misalnya, tidak akan menambah keutamaan ibadah tersebut.

Bahkan dalam memperlakukan diri sendiri pun seorang Muslim tidak boleh bersikap berlebihan. Membaktikan diri terhadap agama itu bagus, namun tidak berarti harus mengabaikan semua kenikmatan dunia. Justru sikap semacam inilah yang dikecam habis-habisan oleh Rasulullah saw., sampai-sampai beliau menegaskan bahwa mereka yang bersikap demikian itu bukanlah bagian dari umatnya.

Radikalisme juga bisa berwujud dalam shalat. Jika kita mengimami banyak orang, maka ringankanlah shalat dan pendekkanlah bacaannya. Ketika beliau mendapati sahabatnya mengimami orang banyak dengan memanjangkan shalatnya, Rasulullah saw. begitu marahnya dan menegur dengan ucapan “Apakah engkau hendak menimbulkan fitnah, Mu’adz?”. Hal ini sampai diucapkannya tiga kali. Ini menunjukkan bahwa kita dituntut untuk berhati-hati dalam bertindak dan menjaga diri dari sikap berlebihan. Jika shalat sendirian, bolehlah memanjangkan sesuka hati. Itu pun dengan mempertimbangkan banyak hal, misalnya hak-hak keluarga, kegiatan mencari nafkah, dan sebagainya.

Salah satu keburukan yang ditimbulkan dari radikalisme adalah kebencian dan futur. Jika kita memaksa orang lain untuk beribadah dengan mengikuti standar yang berat, maka besar kemungkinan mereka akan membenci kita, atau lebih parahnya lagi akan membenci Islam. Padahal Islam memudahkan mereka, dan tidak bermaksud untuk menyusahkan. Jika kita memaksa diri sendiri untuk beribadah dengan standar yang terlalu berat, maka kita pun bisa terpental dari barisan lantaran futur, alias kehabisan energi motivasi akibat jenuh. Atau, seperti yang dijelaskan dalam sebuah hadits, bagaikan “tidak ada lagi jalan yang bisa dilintasi dan tidak ada lagi kendaraan yang tersisa”.

Masih banyak jenis sikap radikal dalam beragama yang lainnya. Ada orang yang menganggap bahwa mas kawin haruslah dalam jumlah tertentu, padahal ia adalah hak calon istri dan tidak ada standar yang wajib dipenuhi selain berdasarkan permintaan calon istri saja. Ada yang menganggap bahwa mengikuti suatu jamaah adalah wajib, padahal ada jamaah-jamaah lain yang juga berkhidmat kepada Allah. Ada yang menganggap mazhabnya paling benar, padahal para imam mazhab pun tidak pernah berani memproklamirkan dirinya sebagai yang paling benar. Tidak usahlah kita membicarakan terlalu jauh hingga pada urusan politik yang penuh dengan pertumpahan darah. Bahkan hal-hal kecil pun bisa menjadi buruk di sisi Allah jika diwarnai dengan radikalisme. Jangankan suatu tindak kejahatan, bahkan ibadah pun jika berlebihan sudah dianggap menyimpang dari agama.

report by :: aklam
suported by:: jeychcol3ct20n.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

makasih buat saran n kunjungannya